“Kemampuan membaca itu sebuah rahmat. Kegemaran membaca; sebuah kebahagiaan” Goenawan Mohamad (GM).


sourch by google
Tak ada yang lebih bersyukur selain mereka yang masih bisa melihat dunia dan seisinya. Merekam jejak peristiwa, membiaskan cahaya menjadi warna dan rupa, menelaah goresan pena, serta memahami tanda dan petanda dengan mata. Begitu GM menyebutnya sebagai rahmat, atau dalam bahasa lain, kita masih melek, memfungsikan Indra mata.
Mata mampu membaca, sedang kemampuan membaca, memang tak semua orang memiliknya. Beberapa orang di masyarakat, tak bisa memahami dan membedakan antara satu huruf dengan huruf lainya, hingga masa tua. Bahkan, seorang buta susah payah mengganti mata dengan raba.
Lalu, mengapa Ia menyebut kegemaran membaca sebagai sebuah kebahagiaan? Ada peribahasa cina yang mengatakan ‘di dalam buku terdapat rumah-rumah dari emas’. Artinya, saat kita membaca sebuah buku, kita meletakan emas-emas dan mengabadikanya didalam kepala. Suatu waktu, emas-emas yang tertimbun didalam otak, bisa menjelma nyata. Sebab buku, adalah akal-akal yang hidup, begitu kata Gilbert White, seorang  fisikawan asal Inggris.
Buku, dan bahan bacaan lain, memang bisa diakses oleh siapapun, dimanapun. Akan tetapi, Universitas menjadi institusi yang begitu dekat dengan buku dan bacaan. Begitu dekat. Didalamnya subjek-subjek yang bergerak tak pernah bisa lepas dari buku dan bacaan. bahkan setiap aktifitas tak serta merta lahir tanpa dasar. Melainkan selalu memijakan pada referensi-referensi yang ada. Sumber bacaan.
Namun, Beberapa minggu lalu, salah satu lembaga kajian riset dan kajian ilmiah yang berada di FISIP, Rhizome, mempresentasikan sebuah penelitian. Tentang minat dan kesadaran mahasiswa dalam membaca. Dari sample mahasiswa yang dipilih, 92% diantaranya sadar akan betapa pentingnya membaca sebagai kebutuhan.  Akan tetapi dalam keseharian, 52% membaca 3-4 jam dalam kurun waktu satu minggu, khusus Buku.
Sedang bacaan lain dengan akses internet tak jauh berbeda. Sebuah jurnal ilmah yang di publikasikan oleh mahasiswa USU (Universitas Sumatra Utara) menunjukan bahwa 41% mahasiswa lebih senang mengakses media sosial, 27% wacana keilmuan dan informasi, 18% berita, dan sisanya diisi oleh Game.

Budaya Yang Kian Luntur
Mustinya kita sadar, jika hal ini (membaca) tak hanya terdorong karena keinginan dan kebutuhan pribadi belaka. Akan tetapi, lingkungan sekitar juga menjadi problematika yang memojokan hasrat dan kebutuhan untuk enggan membaca. Sadar benar, jika budaya adalah hal yang diciptakan menjadi kebiasaan berlarut-larut, sehingga rentan bergeser, bahkan pudar dan hilang.
Tak Jauh dari hari ini, 2009 lalu, masih sering terlihat beberapa orang menenteng buku-buku bacaan. Membaca dimanapun tempat. Serta mendiskusikanya menjadi obrolan hangat. Pada akhirnya tercipta ide-ide kreatif yang berpondasi kokoh.
Intiplah hari ini, kita jarang sekali menyaksikan orang yang asik membaca buku disembarang tempat. Rhizome juga mencatat dalam penelitian mereka yang sama, jika 34% mahasiswa saja yang membaca buku ditempat-tempat umum. Obrolan pun semakin menjauh dari dunia bacaan, keilmuan. Proses kreatif, menjadi kosong, hanya bertendensi pada eksistensi belaka.

Sistem dan Sarana yang Ajeg
Tak hanya lingkungan sekitar mahasiswa, sistem persebaran informasi, dan penyediaan layanan bacaan didalam institusi pun tak begitu mendukung. Dari tahun - ketahun, tak ada yang berubah, sistem informasi dan penyedia layanan bacaan atau perpustakaan masih tetap sama. Diam ditempat. Seolah menjadi bagian yang tak andil dalam memberi stimulan bagi orang-orang untuk membaca.
Buku-buku perpustakan pun tak begitu update, padahal ilmu pengetahuan secara global bergerak cepat. Jika saja ada beberapa bacaan yang baru, informasi-informasi tak disebarluaskan oleh penyedia layanan. Hal ini, banyak dikeluhkan oleh mahasiswa, bahkan dosen. Beberapa jurusan, ada yang swadaya membangun perpustakaanya sendiri, dengan dana patungan dosen.
Jika begini, Apakah hari ini membaca hanya menjadi perihal sepele yang pantas diabaikan? Lalu kita terbiasa menerima ilmu yang hanya seujung kuku dari ruang kuliah saja, dan Kita menjadi manusia-manusia praktis tanpa pijakan kuat. Mungkin, sudah waktunya membaca hanya menjadi angan, dan perenungan sebelum kita terbenam diatas ranjang. [9|IX]

Istilah ‘Hegemoni’ pertama kali diperkenalkan oleh Antonio Gramsci (1997). Salah satu teori yang lahir dari rahim ‘Mazhab Frankfurt’. Pembahasan teori ini mencerminkan Minat pada industry kebudayaan yang memperhatikan konsep “superstruktur”,ketimbang basis ekonomi.
Hegemoni merupakan konsep dominasi atau penanaman kerangka berfikir, atau ideology oleh kelas – kelas dominan terhadap kelas yang lemah, atau subordinat. Proses pemaksaan ini dimasukkan melalui budaya yang secara sadar dan dapat meresap. Serta, Hegemoni berperan dalam menginterpretasikan pengalaman tentang kenyataan. Proses interpretasi itu berlangsung secara tersembunyi tapi terjadi secara terus – menerus.
Bisa dikatakan jika Gramsci berpandangan bahwa kelompok-kelompok subordinat menerima gagasan – gagasan, nilai – nilai, maupun tunduk dibawah kepemimpinan kelompok dominan bukan disebabkan secara fisik atau mental mereka dibujuk untuk melakukannya. Juga bukan disebabkan mereka diindoktrinasi secara ideologis. melainkan karena mereka punya alasan- alasan tersendiri.
Menurut Gramsci, hegemoni diamankan, misalnya, karena konsesi dibuat oleh kelompok dominan terhadap kelompok subordinat. Kebudayaan yang dibangun dengan hegemoni akan mengekspresikan keseolah – olahan. Dimana kepentingan yang mendominasi seolah menjadi kebutuhan kepentingan kelompok – kelompok subordinat.
Media massa sendiri memiliki andil dari perananya dalam mentransformasikan dan menyuguhkan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat.  Sebab secara fugsinya media memang digunakan untuk memberikan gambaran lain tentang wajah masyarakat, ataupun dunia, disekitar kita. Baik berkaitan dengan kehidupan sosial, hingga politik.  Media menjadi perangkat yang efektif untuk menggiring opini khalayak terhadap suatu hal, bahkan untuk memberikan sebuah stereotype pada hal-hal tertentu.
seperti halnya Iklan melalui melalui tayangan televisi hari ini. Iklan sering dimunculkan secara berulang-ulang dengan frekuensi dan intensitas yang teratur. Proses pengulangan dan penerimaan secara teratur ini akan menimbulkan sebuah kesadaran palsu. Disaat orang –orang mengamini apa yang dikatakan iklan, pemahaman berubah menjadi searah, pemahaman searah yang sesuai dengan arahan (Ideology) iklan tersebut.
Sehingga menjadi kewajaran dimasyarakat akan budaya yang telah dibawa Iklan. Orang secara tidak sadar mengkonsumsi apa yang di tawarkan iklan, mempraktikan tindakan tindakan dalam iklan. Semisal, anggapan bahwa perempuan berkulit putih itu cantik, selain itu tidak. Anggapan ini secara tidak langsung memaksa orang untuk berlomba lomba menjadi putih. Padahal tak setiap orang memiliki warna dasar kulit (pigmen) yang putih. Hal ini tidak saja berimbas pada perempuan saja, laki-laki juga serupa.
Atau bisa dalam konteks lain sebagai contohnya, para elite dunia hari ini sedang memperbincangkan politik sebuah negara di eropa yang dilanda kebangkrutan, colapse secara ekonomi. Sedangkan orang pada umumnya disodorkan dengan tayangan-tayangan sinetron percintaan yang acuh terhadap hal tersebut. Atau disajikan berita-berita yang tak ada kaitanya dengan persoalan tersebut. Bahkan dikatakan menutupi nya.
Hegemoni diterima dan berfungsi karena, dalam pengertian umum, didirikan atas jaminan konsesi  atas kelompok subordinat yang tidak memberikan ancaman terhadap kerangka dominasi secara keseluruhan. Juga perangkat perangkat yang mudah membangun pandangan umum.
Pemahaman terkait Teori Hegemoni ini yang akhirnya memproduksi dan mereproduksi kebudayaan yang diatur, tidak spontan, tereifikasi dan palsu. ketimbang suatu budaya atau hal yang riil.


Daftar Pustaka

Mc.Quail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Masa. Erlangga Jakarta
Ritzer, George. 2010. Teori sosiologi : Dari teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial  Postmodern. Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Sim, Stuart dan Van Loon, Borin. 2008. Memahami Teori Kritis. Resist Book. Yogyakarta

Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture : Pengantar Menuju Budaya Populer. Ar-RuzzMedia. Yogyakarta.

Aku,

kamu,

tetap sehebat biasa

sehebat waktu ....... (Sebelum kita bertemu)

dan akan lebih hebat. : )

Purwokerto, 2 Juni 2013

Kau pernah tinggal dikotaku,

              dan Aku pernah datang kekotamu.

   Jika nanti aku datang lagi kekotamu,

Aku ingin berburu.



"Apa yang kan kau buru?" itu pasti tanyamu.


Aku jawab 'MASA LALU'
        Saat kau dan aku berdua,
             Bersama, membunuh waktu.


(Purwokerto - 20/05/13 - V )